Post Top Ad

Post Top Ad

Post Top Ad

Beauty

Recent

About Us

Saturday, November 26, 2016

Hari Penghakiman Manusia

          Assalamu’alaikum wr. wb
          Haloo, Al-reader semua. Pada pagi hari yang cukup mendung ini, Al akan membagikan sajak lagi, nih. Didampingi segelas kopi hangat yang membuat tubuh semangat dan membuat kedua mata melek, kali ini Al akan memosting tulisan terbaru Al. Mungkin sudah cukup lama Al tidak memosting tulisan tentang sajak, ya. Pasti sudah banyak yang rindu pada sajak yang Al buat, nih (mode narsis : ON). Al juga sudah sangat rindu untuk membuat dan memosting tentang sajak lagi. Al merasa ada sesuatu yang hilang dan kurang ketika Al tidak mencipta puisi. Entah itu perasaan apa, tetapi mencipta puisi dan membagikannya kepada Al-reader semua mungkin telah menjadi sebuah kegiatan yang menyenangkan untuk Al lakukan.
Puisi telah menjadi bagian yang tak terpisahkan bagi diri Al dan disitulah Al merasa ada sebuah dorongan (mungkin juga kewajiban) untuk menyiarkannya secara luas. Mengapa hal ini bisa Al rasakan? Karena Al yakin bahwa di dalam setiap sajak atau pun puisi yang tercipta pastilah ada pesan dan amanat yang tersirat. Pesan dan amanat inilah yang Al siarkan kepada Al-reader semua. Insyaallah, setiap puisi dan postingan yang Al bagikan di blog ini merupakan bentuk lain pahala bagi Al (yang membuat) dan bagi Al-reader semua (yang membaca). Aamiin.

          Baiklah, sebelum kita masuk dalam pembahasan inti tentang sajak yang Al ciptakan kali ini, perkenankanlah untuk Al bertanya kepada Al-reader semua. Mungkin pertanyaan yang Al akan sampaikan ini terdengar sedikit aneh dan mungkin juga terdengar tidak sopan bagi sebagian orang, ya. Pertanyaan yang Al sampaikan adalah, Sudahkah kita siap untuk mati? Terdengar tidak biasa bukan pertanyaan di atas, hanya beberapa kata namun dampaknya sangat besar untuk kita semua. Mengapa Al tanyakan hal semacam itu dalam tulisan ini? Itu hanya untuk mengingatkan kita saja, tidak ada maksud lainnya kok. Kita tentu sering mendengar pertanyaan tersebut dalam sebuah ceramah dan dakwah tentang keagamaan, tetapi kita juga sering mengabaikannya dan melupakannya seakan itu hanya sebuah pertanyaan retoris yang sudah kita ketahui jawabannya secara pasti. Tentu Al yakin, bahwa sebagian dari kita ada yang menganggap kematian itu adalah sebuah hal yang wajar-wajar saja. Memang tidaklah salah anggapan tersebut, tetapi kematian bukanlah hal sewajar yang dimaksudkan itu.
          Kematian memang akan dirasakan oleh setiap makhluk yang bernyawa, kematian memang akan dihadapi oleh setiap makhluk hidup ciptaan-Nya. Tetapi dengan pernyataan singkat tersebut bukan berarti kita bisa menyamakan kematian seseorang dengan kematian seekor binatang atau pun kematian sebuah tumbuhan. Ada hal yang sangat mendasar yang membedakan antara kematian manusia dengan makhluk bernyawa lainnya. Tentu kita tidak bisa serta merta menyamakan kematian setiap makhluk, karena ada hal yang mendasar yang membedakan setiap kematian tersebut. Apa hal mendasar yang Al maksud itu? Hal mendasar yang Al maksud adalah kita sendiri. Kita sebagai manusia yang memiliki akal dan budi, memiliki kewajiban untuk melakukan hal-hal yang diperintah-Nya serta berkewajiban untuk meninggalkan semua larangan-Nya adalah hal yang mendasar yang membedakan kita sebagai manusia dengan hewan dan tumbuhan lainnya.

          Ketika hewan dan tumbuhan mati, mereka tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas kehidupannya karena mereka tidak diberi kemampuan untuk menentukan mana hal yang salah dan mana hal yang benar dalam bertindak semasa mereka hidup. Hewan dan tumbuhan hanya dibekali naluri oleh-Nya untuk bertahan hidup. Mencari makan, bernafas, minum, dan hal-hal mendasar lainnya untuk sekadar memertahankan kehidupan. Tentunya sangat berbeda dengan manusia yang diberikan akal dan budi oleh Tuhan. Manusia adalah makhluk paling sempurna yang diciptakan-Nya, bahkan lebih sempurna dan lebih mulia dibandingkan dengan malaikat. Hewan dan tumbuhan bergerak karena nalurinya; malaikat bertindak karena adanya perintah dari Tuhan dan tidak akan pernah menolak; sedangkan manusia berfikir, berucap, dan bertindak berdasarkan atas akal budinya. Itulah yang menyebabkan manusia lebih sempurna dan lebih mulia dibandingkan makhluk-makhluk lainnya.

          Seperti yang telah Al sedikit singgung di atas, bahwa manusia pada dasarnya merupakan makhluk yang paling sempurna di atas makhluk lainnya. Dalam artian jika kita bisa menggunakan akal dan pikiran sebaik mungkin. Kita dibekali kemampuan untuk melakukan sebuah hal atas dasar kehendak diri sendiri, tanpa adanya paksaan dari luar. Ketika kita bisa menggunakan pikiran yang kita miliki semaksimal dan sebaik mungkin, kita benar-benar merupakan makluk paling sempurna dan paling mulia di atas makhluk lainnya. Namun, manusia bisa menjadi makhluk paling buruk (bahkan melebihi setan) ketika manusia tersebut tidak bisa menggunakan akal pikirannya dengan baik dan cenderung mengarah pada hal-hal yang menimbulkan kesalahan. Dewasa ini sudah banyak contoh orang yang bahkan tidak menggunakan akalnya untuk bertindak. Mereka merusak, membunuh, menghancurkan, dan melakukan perbuatan negatif lainnya tanpa berfikir dampaknya terlebih dahulu. Mereka melakukan hal-hal itu semata-mata hanya untuk memenuhi keinginan nafsunya yang berlebihan. Sehingga setiap perbuatan yang mereka lakukan bukannya bermanfaat dan menjadi contoh bagi orang lain, melainkan hanya membuat kerugian semakin bertambah besar dampaknya.

          Manusia diciptakan oleh Tuhan dibekali akal pikiran dan juga nafsu. Kita telah mengetahui bahwa akal adalah modal utama kita hidup sebagai penghuni bumi. Kita hidup bukan hanya semata-mata untuk makan saja, tetapi kita juga diberikan posisi yang mulia yaitu sebagai khalifah. Manusia diperintahkan untuk menjaga keadaan alam tetap seimbang, manusia juga diberikan kemampuan untuk membuat setiap keadaan menjadi lebih baik, serta manusia juga berkehendak untuk menetapkan sebuah keputusan berdasarkan akal pikirannya. Ketiga hal tersebut merupakan hal-hal yang penting untuk dilakukan oleh seorang khalifah. Disamping itu juga, khalifah juga memiliki kewajiban untuk menyegerakan kebaikan dan mencegah terjadinya keburukan. Hal-hal seperti itulah yang menyebabkan kematian manusia tidak hanya sekadar ‘mati’ saja, tetapi juga ada hal-hal yang perlu dipertanggungjawabkan berkaitan dengan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi.
          Tentunya untuk setiap orang yang menjalankan tugasnya sebagai khalifah dengan baik, kematiannya adalah awal kebaikan bagi dirinya yang tidak ada akhirnya (surga). Tetapi akan sangat berbeda keadaannya bagi manusia yang telah mati yang hidupnya hanya dipenuhi dengan nafsu. Orang-orang seperti itu dalam kehidupannya hanya menjadikan nafsunya (uang, kekuasaan, dsb) sebagai tujuan utama, tanpa berfikir bahwa mereka juga akan mati dan meninggalkan semua harta yang mereka miliki di dunia. Mereka diberikan akal pikiran, tetapi mereka enggan untuk menggunakannya. Nafsunya terlalu besar dan menutupi cara pikirnya yang jernih berdasarkan akal dan juga hati. Mereka tidak akan pergi menuju ke tempat yang sama dengan khalifah yang melaksanakan kewajibannya dengan baik di dunia, tetapi mereka akan pergi ke sebuah tempat penuh dengan penyesalan dan kesia-siaan (neraka). Tentunya kita semua tidak ingin menjadi manusia yang hanya berfikir tentang nafsu saja, melainkan juga kita harus bisa menjadi manusia yang menggunakan akal pikirannya dengan sebaik mungkin. Semoga kita semua dijauhkan dari keburukan dan didekatkan kepada kebaikan. Aamiin.

          Masih berkaitan dengan kematian, pada paragraf ini dan seterusnya akan membahas sedikit tentang kematian juga. Namun, kali ini yang akan dibahas adalah kematian seluruh makhluk dan juga alam semesta seluruhnya. Ya, itulah kiamat. Walaupun kematian makhluk juga disebut dengan kiamat (kiamat sugra = kecil), kematian seluruh makhluk juga merupakan bentuk kiamat lainnya (kiamat kubra = besar). Mungkin ada sebagian dari kita yang menyebutnya dengan Hari Penghakiman. Yaitu hari ketika setiap jiwa manusia beserta seluruh makhluk dan juga alam semesta ciptaan-Nya akan ‘diakhiri’. ‘Diakhiri’ dalam kalimat tersebut mengandung arti kematian dan kehancuran secara menyeluruh, tiada makhluk yang akan hidup kecuali Dzat Yang Mahahidup.
Lalu Al akan bertanya lagi kepada diri sendiri dan kepada Al-reader semua, nih, Sudahkah kita siap untuk menghadapinya? Dan sekali lagi, itu merupakan pertanyaan retoris yang sering ditanyakan dalam ceramah dan dakwah keagamaan. Walaupun Al golongkan kedua pertanyaan di atas merupakan  bentuk dari pertanyaan retoris, tentunya jawabannya akan berbeda setiap orangnya. Mungkin ada sebagian dari kita yang menjawab kedua pertanyaan di atas dengan, “Ya, saya telah siap.” Tetapi dari jawaban tersebut apakah ada buktinya? Yang menyatakan secara jelas bahwa kita telah siap untuk menghadapi kematian tersebut. Yang menyatakan dengan jelas bahwa kita mati dan langsung akan masuk dengan mudah ke dalam surga. Bukankah ada kemungkinan setiap amalan yang telah kita perbuat tidak diterima oleh Tuhan? Bukankah juga ada keraguan di dalam hati atas semua hal itu? Setiap dari kita pastinya pernah merasakan keraguan seperti itu, entah itu sering atau pun jarang. Dan pertanyaan-pertanyaan tersebut pastinya akan berkecamuk dalam hati dan pikiran kita semua. Amalan yang kita perbuat harus murni hanya mengharap ridho dari Tuhan, tidak mengharap pujian atau pun uang dari manusia. Tidak juga dicampuri dengan keinginan menguasai atau pun juga disertai dengan rasa selalu benar.

          Disisi lain ada juga sebagian dari kita yang menjawab kedua pertanyaan di atas dengan jawaban, “Belum, saya belum siap.” Lalu timbul pertanyaan lainnya, Kapankah kita siap menghadapinya? Sedangkan waktu terus berlalu dan tanpa henti menggerus sisa umur kita. Dan waktu adalah sebuah hal yang tidak akan pernah berputar berbalik arah dan merupakan hal yang di luar kekuasaan dan kendali manusia. Tentunya dengan takdir dan garis kehidupan yang telah ditentukan oleh Tuhan semacam itu, pastilah membuat banyak dari kita akan berfikir ulang tentang kehidupan yang telah dijalani. Sebagian besar dari kita masih sering lupa berkaitan dengan hal ini, karena kita masih ‘mengagungkan’ kehidupan dunia dibandingkan dengan kehidupan setelah kematian, yaitu akhirat.
          Sedikit pembahasan di atas bukanlah cara Al untuk menakuti Al-reader semua, apalagi bermaksud mengancam Al-reader, tentunya hal itu tidak pernah muncul dalam pikiran Al. Al semata-mata hanya ingin mengingatkan kepada kita semua (terutama diri Al sendiri) bahwa kehidupan dunia merupakan kehidupan yang ‘menipu’ kita untuk lupa dengan adanya kehidupan akhirat. Dunia ini hanya persinggahan sementara yang membuat kita ‘tertipu’ dan menganggap bahwa dunia inilah segalanya. Kita sebagai manusia hanya perlu untuk berpegang pada petunjuk dan pedoman yang diturunkan-Nya. Pedoman inilah yang akan mengarahkan kita kepada kebaikan dan menghindarkan dari segala ‘tipuan’ yang ada di dunia.

          Seperti yang telah Al informasikan di awal tulisan ini, yaitu Al akan membagikan sajak. Sajak kali ini tentunya masih berkaitan dengan pembahasan di atas, yaitu tentang adanya kiamat yang pastinya akan terjadi (entah kapan waktunya). Al hanya berharap dengan adanya sajak yang Al bagikan kali ini bisa menjadikan motivasi bagi kita semua untuk selalu mengingat bahwa waktu kita di dunia ini tidaklah banyak. Memotivasi agar kita selalu mendekat pada kebaikan dan menjauhi segala bentuk keburukan yang ada. Dengan waktu yang sangat terbatas yang kita miliki di dunia ini seharusnya kita bisa memanfaatkannya semaksimal mungkin, tidak boleh membuang-buang waktu hanya untuk hal-hal yang kurang bermanfaat. Kita harus selalu ingat bahwa kita hidup, menjalaninya, dan mengakhirinya karena Tuhan. Tidak ada bentuk alasan yang lebih tinggi dari Tuhan.
          Berikut ini sajaknya. Good reading, all.J


Menuju Hari Penghakiman
Fahd Al Fauzi

Pada sebuah mesin penghitung yang terus berdetak
Berputar seakan mencari sebuah tujuan abstrak
Pada setiap jarum yang menunjuk jelas
Perlahan bergerak tanpa rasa berpihak
Dengan inti tak pernah berpindah sisi
Membuat hati gundah dalam sanubari
Segalanya serasa tiada ujung tanpa henti
Layangkan jiwa dalam udara, sampai atap langit ketujuh
Terlupa amanat dalam buku tebal di pojok ruang
Bersama pesan sobat lama yang t’lah terkubur jauh dalam ingatan

Demi kokohnya saka zaman yang menjulang
Pastilah tergerus habis oleh masa, bak batu perlahan memasir
Hilang tanpa bekas, tercetak kosong dalam sejarah
Wahai sekalian, perhatikanlah
Bahwa waktu pun ‘kan lenyap tersapu waktu
Bahwa masa pun ‘kan lenyap tersapu masa
Yaitu saat penyangga langit runtuh menimpa bumi
Dimana sakit jeritan terasa hampa menyentuh tubuh
Dan ketika lemahnya hati terpenggal takdir
Itulah wahai, Hari Penghakiman


Banyumas, 12 Juli 2016