Assalamu’alaikum
wr. wb
Haloo,
Al-reader semua. Pada pagi hari yang cukup mendung ini, Al akan membagikan
sajak lagi, nih. Didampingi segelas
kopi hangat yang membuat tubuh semangat dan membuat kedua mata melek, kali ini
Al akan memosting tulisan terbaru Al. Mungkin sudah cukup lama Al tidak
memosting tulisan tentang sajak, ya. Pasti sudah banyak yang rindu pada sajak
yang Al buat, nih (mode narsis : ON). Al juga sudah sangat rindu untuk membuat
dan memosting tentang sajak lagi. Al merasa ada sesuatu yang hilang dan kurang
ketika Al tidak mencipta puisi. Entah itu perasaan apa, tetapi mencipta puisi
dan membagikannya kepada Al-reader semua mungkin telah menjadi sebuah kegiatan yang
menyenangkan untuk Al lakukan.
Image source : http://www.yudhe.com/misteri-melihat-kematian-dalam-mimpi/
Puisi telah menjadi bagian yang
tak terpisahkan bagi diri Al dan disitulah Al merasa ada sebuah dorongan
(mungkin juga kewajiban) untuk menyiarkannya secara luas. Mengapa hal ini bisa
Al rasakan? Karena Al yakin bahwa di dalam setiap
sajak atau pun puisi yang tercipta pastilah ada pesan dan amanat yang
tersirat. Pesan dan amanat inilah yang Al siarkan kepada Al-reader semua. Insyaallah, setiap puisi dan postingan
yang Al bagikan di blog ini merupakan bentuk lain pahala bagi Al (yang membuat)
dan bagi Al-reader semua (yang membaca). Aamiin.
Baiklah,
sebelum kita masuk dalam pembahasan inti tentang sajak yang Al ciptakan kali ini,
perkenankanlah untuk Al bertanya kepada Al-reader semua. Mungkin pertanyaan
yang Al akan sampaikan ini terdengar sedikit aneh dan mungkin juga terdengar
tidak sopan bagi sebagian orang, ya. Pertanyaan yang Al sampaikan adalah, Sudahkah kita siap untuk mati?
Terdengar tidak biasa bukan pertanyaan di atas, hanya beberapa kata namun
dampaknya sangat besar untuk kita semua. Mengapa Al tanyakan hal semacam itu
dalam tulisan ini? Itu hanya untuk mengingatkan kita saja, tidak ada maksud
lainnya kok. Kita tentu sering
mendengar pertanyaan tersebut dalam sebuah ceramah dan dakwah tentang
keagamaan, tetapi kita juga sering mengabaikannya dan melupakannya seakan itu
hanya sebuah pertanyaan retoris yang sudah kita ketahui jawabannya secara
pasti. Tentu Al yakin, bahwa sebagian dari kita ada yang menganggap kematian
itu adalah sebuah hal yang wajar-wajar saja. Memang tidaklah salah anggapan
tersebut, tetapi kematian bukanlah hal
sewajar yang dimaksudkan itu.
Image source : pamijahan.com/tanda-menjelang-kematian-menurut-islam/
Kematian
memang akan dirasakan oleh setiap makhluk yang bernyawa, kematian memang akan
dihadapi oleh setiap makhluk hidup ciptaan-Nya. Tetapi dengan pernyataan
singkat tersebut bukan berarti kita bisa menyamakan kematian seseorang dengan
kematian seekor binatang atau pun kematian sebuah tumbuhan. Ada hal yang sangat mendasar yang
membedakan antara kematian manusia dengan makhluk bernyawa lainnya.
Tentu kita tidak bisa serta merta menyamakan kematian setiap makhluk, karena
ada hal yang mendasar yang membedakan setiap kematian tersebut. Apa hal
mendasar yang Al maksud itu? Hal mendasar yang Al maksud adalah kita sendiri. Kita
sebagai manusia yang memiliki akal dan budi, memiliki kewajiban untuk melakukan
hal-hal yang diperintah-Nya serta berkewajiban untuk meninggalkan semua
larangan-Nya adalah hal yang mendasar yang membedakan kita sebagai manusia
dengan hewan dan tumbuhan lainnya.
Ketika
hewan dan tumbuhan mati, mereka tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas
kehidupannya karena mereka tidak diberi kemampuan untuk menentukan mana hal
yang salah dan mana hal yang benar dalam bertindak semasa mereka hidup. Hewan
dan tumbuhan hanya dibekali naluri oleh-Nya untuk bertahan hidup. Mencari
makan, bernafas, minum, dan hal-hal mendasar lainnya untuk sekadar memertahankan
kehidupan. Tentunya sangat berbeda dengan manusia yang diberikan akal dan budi
oleh Tuhan. Manusia adalah makhluk
paling sempurna yang diciptakan-Nya, bahkan lebih sempurna dan lebih
mulia dibandingkan dengan malaikat. Hewan dan tumbuhan bergerak karena
nalurinya; malaikat bertindak karena adanya perintah dari Tuhan dan tidak akan
pernah menolak; sedangkan manusia berfikir, berucap, dan bertindak berdasarkan
atas akal budinya. Itulah yang menyebabkan manusia lebih sempurna dan lebih
mulia dibandingkan makhluk-makhluk lainnya.
Seperti
yang telah Al sedikit singgung di atas, bahwa manusia pada dasarnya merupakan
makhluk yang paling sempurna di atas makhluk lainnya. Dalam artian jika kita
bisa menggunakan akal dan pikiran sebaik mungkin. Kita dibekali kemampuan untuk
melakukan sebuah hal atas dasar kehendak diri sendiri, tanpa adanya paksaan
dari luar. Ketika kita bisa menggunakan pikiran yang kita miliki semaksimal dan
sebaik mungkin, kita benar-benar merupakan makluk paling sempurna dan paling
mulia di atas makhluk lainnya. Namun, manusia
bisa menjadi makhluk paling buruk (bahkan melebihi setan) ketika manusia
tersebut tidak bisa menggunakan akal pikirannya dengan baik dan cenderung
mengarah pada hal-hal yang menimbulkan kesalahan. Dewasa ini sudah banyak
contoh orang yang bahkan tidak menggunakan akalnya untuk bertindak. Mereka
merusak, membunuh, menghancurkan, dan melakukan perbuatan negatif lainnya tanpa
berfikir dampaknya terlebih dahulu. Mereka melakukan hal-hal itu semata-mata
hanya untuk memenuhi keinginan nafsunya yang berlebihan. Sehingga setiap
perbuatan yang mereka lakukan bukannya bermanfaat dan menjadi contoh bagi orang
lain, melainkan hanya membuat kerugian semakin bertambah besar dampaknya.
Manusia
diciptakan oleh Tuhan dibekali akal pikiran dan juga nafsu. Kita telah
mengetahui bahwa akal adalah modal utama kita hidup sebagai penghuni bumi. Kita hidup bukan hanya semata-mata untuk
makan saja, tetapi kita juga diberikan posisi yang mulia yaitu sebagai khalifah.
Manusia diperintahkan untuk menjaga keadaan alam tetap seimbang, manusia juga
diberikan kemampuan untuk membuat setiap keadaan menjadi lebih baik, serta
manusia juga berkehendak untuk menetapkan sebuah keputusan berdasarkan akal
pikirannya. Ketiga hal tersebut merupakan hal-hal yang penting untuk dilakukan
oleh seorang khalifah. Disamping itu juga, khalifah juga memiliki kewajiban
untuk menyegerakan kebaikan dan mencegah terjadinya keburukan. Hal-hal seperti
itulah yang menyebabkan kematian manusia tidak hanya sekadar ‘mati’ saja,
tetapi juga ada hal-hal yang perlu dipertanggungjawabkan berkaitan dengan
tugasnya sebagai khalifah di muka bumi.
Image source : www.anneahira.com/peranan-manusia-sebagai-khalifah.htm
Tentunya
untuk setiap orang yang menjalankan tugasnya sebagai khalifah dengan baik,
kematiannya adalah awal kebaikan bagi dirinya yang tidak ada akhirnya (surga).
Tetapi akan sangat berbeda keadaannya bagi manusia yang telah mati yang
hidupnya hanya dipenuhi dengan nafsu. Orang-orang seperti itu dalam
kehidupannya hanya menjadikan nafsunya (uang, kekuasaan, dsb) sebagai tujuan
utama, tanpa berfikir bahwa mereka juga akan mati dan meninggalkan semua harta
yang mereka miliki di dunia. Mereka diberikan akal pikiran, tetapi mereka
enggan untuk menggunakannya. Nafsunya terlalu besar dan menutupi cara pikirnya
yang jernih berdasarkan akal dan juga hati. Mereka tidak akan pergi menuju ke
tempat yang sama dengan khalifah yang melaksanakan kewajibannya dengan baik di
dunia, tetapi mereka akan pergi ke sebuah tempat penuh dengan penyesalan dan
kesia-siaan (neraka). Tentunya kita
semua tidak ingin menjadi manusia yang hanya berfikir tentang nafsu saja,
melainkan juga kita harus bisa menjadi manusia yang menggunakan akal pikirannya
dengan sebaik mungkin. Semoga kita semua dijauhkan dari keburukan dan
didekatkan kepada kebaikan. Aamiin.
Masih
berkaitan dengan kematian, pada paragraf ini dan seterusnya akan membahas
sedikit tentang kematian juga. Namun, kali ini yang akan dibahas adalah
kematian seluruh makhluk dan juga alam semesta seluruhnya. Ya, itulah kiamat.
Walaupun kematian makhluk juga disebut dengan kiamat (kiamat sugra = kecil),
kematian seluruh makhluk juga merupakan bentuk kiamat lainnya (kiamat kubra =
besar). Mungkin ada sebagian dari kita yang menyebutnya dengan Hari Penghakiman. Yaitu hari
ketika setiap jiwa manusia beserta seluruh makhluk dan juga alam semesta
ciptaan-Nya akan ‘diakhiri’. ‘Diakhiri’ dalam kalimat tersebut mengandung arti
kematian dan kehancuran secara menyeluruh, tiada makhluk yang akan hidup
kecuali Dzat Yang Mahahidup.
Image source : http://vdo.muslimthaipost.com/clip/3724/
Lalu Al akan bertanya lagi kepada
diri sendiri dan kepada Al-reader semua, nih,
Sudahkah kita siap untuk
menghadapinya? Dan sekali lagi, itu merupakan pertanyaan retoris yang
sering ditanyakan dalam ceramah dan dakwah keagamaan. Walaupun Al golongkan
kedua pertanyaan di atas merupakan
bentuk dari pertanyaan retoris, tentunya jawabannya akan berbeda setiap
orangnya. Mungkin ada sebagian dari kita yang menjawab kedua pertanyaan di atas
dengan, “Ya, saya telah siap.” Tetapi dari jawaban tersebut apakah ada
buktinya? Yang menyatakan secara jelas bahwa kita telah siap untuk menghadapi
kematian tersebut. Yang menyatakan dengan jelas bahwa kita mati dan langsung akan
masuk dengan mudah ke dalam surga. Bukankah ada kemungkinan setiap amalan yang
telah kita perbuat tidak diterima oleh Tuhan? Bukankah juga ada keraguan di
dalam hati atas semua hal itu? Setiap dari kita pastinya pernah merasakan
keraguan seperti itu, entah itu sering atau pun jarang. Dan
pertanyaan-pertanyaan tersebut pastinya akan berkecamuk dalam hati dan pikiran
kita semua. Amalan yang kita perbuat
harus murni hanya mengharap ridho dari Tuhan, tidak mengharap pujian
atau pun uang dari manusia. Tidak juga dicampuri dengan keinginan menguasai
atau pun juga disertai dengan rasa selalu benar.
Disisi
lain ada juga sebagian dari kita yang menjawab kedua pertanyaan di atas dengan
jawaban, “Belum, saya belum siap.” Lalu timbul pertanyaan lainnya, Kapankah
kita siap menghadapinya? Sedangkan waktu terus berlalu dan tanpa henti
menggerus sisa umur kita. Dan waktu adalah sebuah hal yang tidak akan pernah berputar
berbalik arah dan merupakan hal yang di luar kekuasaan dan kendali manusia. Tentunya
dengan takdir dan garis kehidupan yang telah ditentukan oleh Tuhan semacam itu,
pastilah membuat banyak dari kita akan berfikir ulang tentang kehidupan yang
telah dijalani. Sebagian besar dari
kita masih sering lupa berkaitan dengan hal ini, karena kita masih
‘mengagungkan’ kehidupan dunia dibandingkan dengan kehidupan setelah kematian,
yaitu akhirat.
Sedikit
pembahasan di atas bukanlah cara Al untuk menakuti Al-reader semua, apalagi
bermaksud mengancam Al-reader, tentunya hal itu tidak pernah muncul dalam
pikiran Al. Al semata-mata hanya ingin mengingatkan kepada kita semua (terutama
diri Al sendiri) bahwa kehidupan dunia merupakan kehidupan yang ‘menipu’ kita
untuk lupa dengan adanya kehidupan akhirat. Dunia ini hanya persinggahan
sementara yang membuat kita ‘tertipu’ dan menganggap bahwa dunia inilah
segalanya. Kita sebagai manusia hanya
perlu untuk berpegang pada petunjuk dan pedoman yang diturunkan-Nya.
Pedoman inilah yang akan mengarahkan kita kepada kebaikan dan menghindarkan
dari segala ‘tipuan’ yang ada di dunia.
Seperti
yang telah Al informasikan di awal tulisan ini, yaitu Al akan membagikan sajak.
Sajak kali ini tentunya masih berkaitan dengan pembahasan di atas, yaitu
tentang adanya kiamat yang pastinya akan terjadi (entah kapan waktunya). Al
hanya berharap dengan adanya sajak yang Al bagikan kali ini bisa menjadikan
motivasi bagi kita semua untuk selalu mengingat bahwa waktu kita di dunia ini
tidaklah banyak. Memotivasi agar kita selalu mendekat pada kebaikan dan
menjauhi segala bentuk keburukan yang ada. Dengan waktu yang sangat terbatas
yang kita miliki di dunia ini seharusnya kita bisa memanfaatkannya semaksimal
mungkin, tidak boleh membuang-buang waktu hanya untuk hal-hal yang kurang
bermanfaat. Kita harus selalu ingat
bahwa kita hidup, menjalaninya, dan mengakhirinya karena Tuhan. Tidak ada
bentuk alasan yang lebih tinggi dari Tuhan.
Image source : https://www.arrahmah.com/foto/maasyaa-allah-indahnya-33-kebesaran-allah-di-muka-bumi-ini.html
Berikut
ini sajaknya. Good reading, all.J
Menuju Hari Penghakiman
Fahd Al
Fauzi
Pada sebuah mesin penghitung yang
terus berdetak
Berputar seakan mencari sebuah
tujuan abstrak
Pada setiap jarum yang menunjuk
jelas
Perlahan bergerak tanpa rasa
berpihak
Dengan inti tak pernah berpindah
sisi
Membuat hati gundah dalam
sanubari
Segalanya serasa tiada ujung
tanpa henti
Layangkan jiwa dalam udara, sampai
atap langit ketujuh
Terlupa amanat dalam buku tebal
di pojok ruang
Bersama pesan sobat lama yang t’lah
terkubur jauh dalam ingatan
Demi kokohnya saka zaman yang
menjulang
Pastilah tergerus habis oleh
masa, bak batu perlahan memasir
Hilang tanpa bekas, tercetak kosong
dalam sejarah
Wahai sekalian, perhatikanlah
Bahwa waktu pun ‘kan lenyap
tersapu waktu
Bahwa masa pun ‘kan lenyap
tersapu masa
Yaitu saat penyangga langit runtuh
menimpa bumi
Dimana sakit jeritan terasa hampa
menyentuh tubuh
Dan ketika lemahnya hati terpenggal
takdir
Itulah wahai, Hari Penghakiman
Banyumas,
12 Juli 2016
No comments:
Post a Comment